PERBANDINGAN ADMINISTRASI PUBLIK (OMBUDSMAN) ANTARA INDONESIA DAN SWEDIA

       Ilmu Administrasi Negara, atau yang dewasa ini lebih dikenal sebagai Ilmu Administrasi Publik, merupakan Ilmu yang relatif baru jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain yang telah lebih dulu ada. Sejak kelahirannya secara resmi melalui pernyataan Woodrow Wilson ilmu ini sudah didukung oleh sejumlah teori dan pendekatan dari berbagai disiplin Ilmu lain, sehingga terus berkembang menjadi ilmu bersifat multi disiplin yang paling dinamis dan fleksibel dalam mengikuti perkembangan zaman. 
          Istilah “Perbandingan” yang terkandung dalam Perbandingan Administrasi Negara (PAN), Administrasi Negara Perbandingan (ANP), Administrasi Publik Komparatif, atau istilahistilah lainnya, memiliki pengertian proses untuk mengkaji atau memahami persamaan dan atau perbedaan antara lembaga-lembaga (institusi), gejala-gejala, fenomena-fenomena, prosesproses, dll, yang ada dalam / berkaitan dengan disiplin ilmu Administrasi Negara untuk kemudian dilakukan Benchmarking/Studi tolak ukur. Sedangkan mengenai pengertian Administrasi Negara/Publik telah banyak dibahas oleh para Ahli. Pada prinsipnya ini adalah sebuah aplikasi/implementasi dari salah satu dimensi "administrasi" yang menekankan pembahasan pada bidang kenegaraan, dalam arti atau cakupan pemahaman secara makro maupun mikro.
          Menurut Riggs “comparative study of administration is the theory of public administration as applied in differse cultures and national settings”. Artinya: Kajian Perbandingan Administrasi adalah sebuah teori Administrasi Publik sebagaimana Ilmu tersebut diaplikasikan pada berbagai tatanan budaya dan nasional yang beragam. Pada prinsipnya, tujuan akhir dari pendekatan Perbandingan Administrasi Negara adalah untuk memperpendek kesenjangan antara objek yang dibandingkan. Contohnya negara maju vs Negara berkembang, sentralisasi vs Desentralisasi, dll. Caranya adalah dengan mengenali dan menganalisis faktor yang menyebabkan satu satu objek tertinggal atau secara kualitas lebih rendah daripada yang lain atau begitupun sebaliknya. Tantangan terbesarnya adalah bagaimana hal tersebut agar menjadi meningkat setelah dibandingkan. Peningkatan tersebut tentu saja identik dengan peningkatan kualitas, dalam hal ini peningkatan hal-hal yang berkaitan dengan Administrasi Negara/Publik. Misalkan proses pelayanan publik yang tadinya sarat dengan Patologi Birokrasi atau secara spesifik Red-Tape, meningkat menjadi pelayanan publik yang efektif dan efisien.
          Dalam makalah ini, penulis berusaha untuk membandingkan sistem Ombudsman di Indonesia dengan di Swedia sehingga muncul suatu perbandingan diantara keduanya dan akan ditarik apa yang semestinya harus diperbaiki baik dari pihak Indonesia maupun Swedia. Istilah ombudsman berasal dari Bahasa Skandinavia yaitu Umbuðsmann yang artinya Perwakilan. Lembaga ombudsman pertama kali didirikan di Swedia pada tahun 1809 Masehi. Tetapi, pada dasarnya Swedia bukanlah negara yang pertama yang membangun system pengawasan ombudsman. Ombudsman pertama kali didirikan oleh Raja Charles XII pada tahun 1700-an dengan nama King's Highest Ombudsman. Selama satu setengah abad berlalu, institusi ombudsman baru dikenal di Swedia. Setengah abad setelahnya barulah sistem Ombudsman ini menyebar ke berbagai penjuru dunia. Setelah raja Charles XII di Swedia membentuk Office Of The King's Highest Ombudsman, Parlement Swedia juga mengukuhkanya dengan membentuk Ombudsman Parlementer pada tahun 1809. Kemudian, dalam lembaga ombudsman di Indonesia pada tahun 2000 Presiden RI mengeluarkan surat Keputusan Presiden No. 44 tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional (KON) sehingga Indonesia memasuki babak baru dalam sistem pengawasan. maka sejak ditetapkannya Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 pada tanggal 10 Maret 2000 berdirilah lembaga Ombudsman Indonesia dengan dengan nama Komisi Ombudsman Nasional. 

1.1. Perbandingan Administrasi Publik
          Dalam buku berjudul Perbandingan Administrasi Negara karya Sahya Anggara (2013: 11-15) dipaparkan bahwa sebelum permulaan abad ke-20, studi perbandingan administrasi negara termasuk dalam studi ilmu pemerintahan. Setelah Perang Dunia II, ilmu perbandingan administrasi negara mulai mendapatkan perhatian, terutama oleh Robert E. Dahl (1947). Bertepatan dengan tahun itulah awal kelahiran ilmu perbandingan administrasi negara yang berlanjut dengan diadakannya konferensi Princeton tahun 1952. Konferensi tersebut salah satunya membahas masalah penelitian dan metode pengajaran perbandingan administrasi negara yang sistematik. Perbandingan administrasi negara tersusun dari tiga konsep yang sangat bermakna, yaitu kata “perbandingan”, “administrasi”, dan kata “negara”. Perbandingan artinya melakukan penilaian terhadap dua hal yang sama dalam objek tertentu. Kata “perbandingan” dapat diartikan pula dengan istilah menyamakan dan membedakan dua objek atau lebih objek tertentu, misalnya membandingkan objek kajian administrasi negara dengan administrasi perkantoran. Keduanya merupakan bagian dari ilmu administrasi, yang secara definitif memiliki arti yang sama, tetapi objeknya berbeda. Jika yang pertama objeknya adalah negara, sedangkan yang kedua objeknya perkantoran.
          Dengan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa perbandingan administrasi negara adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji sistem pelayanan negara dan penyelenggaraan negara dengan pendekatan perbandingan. Perbadingan ini bertujuan membandingkan pola-pola administrasi dari berbagai sudut pandang, antara lain membandingkan administrasi penyelenggaraan negara sebelum dan sesudah kemerdekaan, perbandingan administrasi tradisional dengan modern, perbandingan administrasi negara monarki dan republik, dan sebagainya. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa perbandingan administrasi negara juga mengkaji administrasi negara dengan pendekatan perbandingan antar-berbagai aliran, antar-kebudayaan yang berbeda, antar-orde yang berbeda, misalnya antara orde lama dan orde baru, orde baru dan orde reformasi sebagaimana yang dialami di negara republik Indonesia.
          Fungsi-fungsi perbandingan administrasi negara telah dirasakan oleh para penyelenggara negara. Misalnya, Indonesia pernah berpegang pada sistem pemerintahan parlementer, lalu berubah pada sistem republik Indonesia serikat, dan sekarang berpegang pada sistem pemerintahan presidensial. Demikian pula, dalam penyelenggaraan demokrasi sistem pemilihan umum. Indonesia pernah menggunakan pemilu dengan sistem pemilihan langsung, sistem distrik, sistem multipartai, sistem tiga partai, dan pada era reformasi, kembali berpegang pada sistem yang pernah dilaksanakan pada masa orde lama, yaitu multipartai dengan pemilihan secara langsung, baik pemilihan calon presiden dan wakil presiden maupun pemilihan calon anggota legislatif.
          Fungsi perbandingan administrasi akan mendorong ke arah perbaikan berdasarkan hasil analisis dan studi perbandingan. Suatu sistem kombinasi akan lebih besar manfaatnya untuk diterapkan pada proses penyelenggaraan negara ataupun pemerintah yang lebih modern, lebih baik, lebih murah, lebih tepat waktu, dan lebih berhasil guna. Hasil-hasil studi perbandingan yang dikombinasikan akan meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat.

1.2.. Ombudsman 
          Dalam buku OMBUDSMAN DAN AKUNTABILITAS PUBLIK Perspektif Daerah Istimewa Yogyakarta karya Muhammad Idris (2015: 44-50) istilah Ombudsman berasal dari bahasa Swedia kuno, “umbuðsmann” yang berarti “kasus ke empat” (accusative) dan dari kata “umbuds man” yang berarti perwakilan (representative). Islandia, yang banyak dipengaruhi oleh bahasa skandinavia, mempergunakan istilah umboðsmaður, kemudian di Norwegia dengan istilah “Ombudsmann” dan di Denmark dikenal dengan istilah “Ombudsmand” (Pope, 2003). Dengan demikian, istilah Ombudsman berarti seorang pejabat atau badan independen yang bertugas menyelidiki berbagai keluhan masyarakat atas maladministrasi atau perlakuan sewenang-wenang pejabat pemerintah di dalam memberikan pelayanan publik.
          Di dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik juga disebutkan pada Bab I Pasal 1 ayat (13) bahwa “Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan hukum milik negara serta badan swasta, maupun perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah". 
          Di banyak negara, jika lembaga pemerintah menolak untuk mengubah kebijakan atau memperbaiki prosedur pelayanan sesuai dengan rekomendasi Komisi Ombudsman, maka Komisi Ombudsman dapat melaporkan lembaga pemerintah tersebut ke presiden atau perdana menteri sebagai chief executive atau pejabat pemerintah tertinggi. Apabila lembaga pemerintah yang dilaporkan merupakan perangkat daerah otonom seperti di Indonesia, maka Komisi Ombudsman melaporkannya kepada Gubernur atau Bupati/Walikota. Sebagai langkah terakhir, Komisi Ombudsman juga dapat melaporkan lembaga pemerintah tersebut ke parlemen, menjelaskan alasan kenapa lembaga pemerintah tersebut dinyatakan bersalah. Karena laporan ini akan tersebar di antara anggota parlemen yang menjadi lawan pemerintah dan juga kepada media, maka lembaga pemerintah tentu saja akan menghindari hal tersebut, kecuali lembaga pemerintah tersebut sangat yakin bahwa Komisi Ombudsman yang salah. 
          Jadi, secara umum lembaga Ombudsman dipahami bukan sebagai lembaga yang memberikan keputusan yang mengikat secara hukum (legaly binding), melainkan lembaga yang memberikan rekomendasi-rekomendasi yang kuat. Jadi, rekomendasi dari Ombudsman tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum melainkan secara moral. Ombudsman memiliki keunikan dan dibutuhkan dalam penyelenggaraan pemerintahan atau pun dalam dunia usaha. Keunikan Ombudsman adalah kewenangan, fungsinya yang bervariasi antara satu Ombudsman dengan Ombudsman lainnya bergantung pada pendirinya atau latar belakang pendiriannya namun tetap merupakan lembaga publik yang bertugas menyelamatkan kepentingan publik dari kesewenang-wenangan atau membela hak-hak individu atas berbagai kebijakan yang merugikan atau tindakan maladministrasi yang dilakukan Keunikan lain dari Ombudsman ialah bahwa Ombudsman dapat berasal dari eksekutif atau bahkan adalah pejabat publik atau perwakilan publik atau bahkan pejabat pemerintah atau perwakilan pemerintah namun dia berbuat untuk kepentingan masyarakat, kepentingan individu atas pelaksanaan pemerintahan. Ombudsman juga dapat bersifat khusus untuk tugas-tugas dan kewenangan tertentu sesuai dengan alasan pembentukannya. 

1.3.   Ombudsman di Indonesia
          Persoalan yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia dalam kenyataan, dari hari ke hari, semakin kompleks. Dari sekian persoalan itu diantaranya terkait dengan pelayanan publik, termasuk pelayanan pemerintah daerah hingga kedalam kenyataan, dari hari ke hari, semakin kompleks. Dari sekian persoalan itu diantaranya terkait dengan pelayanan publik, termasuk pelayanan pemerintah daerah hingga ke level terendah seperti kelurahan hingga RT/RW. Keluhan masyarakat juga diberikan pada lembaga-lembaga seperti aparat kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan lain-lain. Biasanya keluhan-keluhan tersebut hanya direspon bila telah diberitakan media massa dan kalaupun ada respon hanya bersifat internal semata dan masyarakat tidak pernah tahu sampai sejauh mana penanganan keluhan-keluhan tersebut. Inilah yang kadang menyebabkan perbaikan tata pemerintahan mengalami kemandekan dari waktu ke waktu. Dalam konteks itu sesungguhnya kehadiran lembaga Ombudsman dapat menjadi titik masuk (entry point) untuk menciptakan perbaikan tata pemerintahan yang berujung pada perbaikan pelayanan publik. Bertolak dari penomena tersebut sehingga berbagai pemikiran perbaikan pelayanan berwujud pada perlunya pembentukan lembga Ombudsman di Indonesia.
          Hingga saat ini Indonesia mempunyai dua jenis kebijakan Ombudsman sesuai kurun waktunya. Kebijakan pertama adalah tatkala Ombudsman diletakkan sebagai bagian dari executive exercise yaitu Ombudsman ditetapkan dengan Keputusan Presiden pada tahun 2000 dan kebijakan kedua adalah tatkala Ombudsman ditingkatkan legalitas keberadaannya pada satu undang undang pada tahun 2008. Terbitnya Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia sekaligus telah mengubah eksistensi Ombudsman di Indonesia dari Ombudsman eksekutif menjadi Ombudsman legislative atau parlamen. Kebijakan Ombudsman pertama kali diterbitkan di Indonesia dalam bentuk Keputusan Eksekutif Keppres No. 44/2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional (KON). Pertimbangan pembentukan Komisi Ombudsman dari Keppres ini adalah bahwa pemberdayaan masyarakat melalui peran serta mereka untuk melakukan pengawasan akan lebih menjamin penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Demikian halnya pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat terhadap penyelenggaraan negara merupakan implementasi demokratisasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan oleh aparatur dapat diminimalisasi.
          Sebagaimana disampaikan oleh KON melalui situsnya, Sejak disahkannya RUU Ombudsman RI menjadi Undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tanggal 9 September 2008, lembaga Komisi Ombudsman Nasional berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia. Undang-Undang ini ditandatangani Presiden pada tanggal 7 Oktober 2008 dengan nama UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman. UU ini menjadi dasar hukum bagi pembentukan lembaga Ombudsman Republik Indonesia. Ombudsman Republik Indonesia atau ORI memiliki kewenangan mengawasi pemberian pelayanan umum oleh penyelenggara negara dan pemerintah kepada masyarakat. Penyelenggara negara dimaksud meliputi Lembaga Peradilan, Kejaksaan, Kepolisian, Badan Pertanahan Nasional, Pemerintah Daerah, Instansi Departemen dan Non-Departemen, BUMN, dan Perguruan Tinggi Negeri, serta badan swasta dan perorangan yang seluruh/sebagian anggarannya menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
          Tujuan pendirian Komisi Ombudsman Nasional (KON) berdasarkan Keppres nomor 44 tahun 2000 dalam pasal 3 (a) disebutkan bahwa Ombudsman Nasional bertujuan membantu menciptakan dan atau mengembangkan kondisi kondusif dalam melaksanakan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme. Sedangkan dalam pasal 3 (b) disebutkan bahwa KON bertujuan untuk mengingkatkan perlindungan hak-hak masyarakat agar cara lebih baik. memperoleh pelayanan umum, keadilan dan kesejahtera: Tugas pokok KON yang diamanatkan kepada pengurus KON dimuat dalam pasal 4 Keppres 44/2000 yaitu: 
Menyebarluaskan pemahaman mengenai Iembaga ombudsman.
Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan instansi pemerintah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, para ahli, praktisi, organisasi profesi, dll.
Melakukan langkah untuk menindaklanjuti laporan atau informasi mengenai terjadinya penyimpangan oleh penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya maupun dalam memberikan pelayanan umum.
Mempersiapkan konsep rancangan undang-undang tentang ombudsman nasional. 
          Menurut Keppres 44/2000, susunan organisasi KON terdiri atas rapat paripurna, sub-komisi, sekertariat, tim asistensi dan staf administrasi. Ombudsman dipimpin oleh seorang ketua, dibantu oleh seorang wakil ketua, serta anggota sebanyak-banyaknya sembilan orang, yang terdiri dari tokoh- tokoh yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas pokok. Rapat paripurna adalah pemegang kekuasaan rertinggi dalam KON. Rapat paripurna tendir dari seluruh anggota ombudsman nasional.
          Sebagai lembaga pengawas cksternal yang independen, ombudsman memiliki karakteristik yang relatif berbeda dengan pengawas-pengawas yang selama ini telah ada. Ombudsman memberikan pełuang yang luas bagi terjadinya pelibatan partisipasi masyarakat dalam menentukan siapa "pejabat pengawas" yang mercka tunjuk dan patut dipercaya. Proses pemilihan anggota ombudsman umumnya dilakukan melalui mckanisme yang partisipatif, transparan dan akuntabel. Hal ini penting, mengingat kecenderungan selama ini masyarakat kurang mempercayai independensi dari lembaga dan orang- orang yang ditunjuk oleh penguasa sebagai pengawas, baik di pusat maupun di dacrah. Karakteristik lainnya adalah bahwa ombudsman berfungsi sebagai pemberi pengaruh (magistrature of influence) bukan pemberik sangsi (magistrature of sanction). 
          Meskipun tidak dibekali atau tidak membekali diri dengan instrumen pemaksa (legally binding power) pengaruh ombudsman tetap sangat kuat. Ini disebabkan figur scorang ombudsman yang benar-benar dapat dipercaya integritas, kredibilitas dan kapabilitiasnya. Sebab pemilihannya dilakukan melalui proses yang partisipatif, transparan dan akuntabel. Pengaruh ombudsman masuk melalui rekomendasi yang disusun dan diberikan kepada penyelenggara negara. Walaupun rekomendasi ombudsman tidak mengika tsecara hukum, bukan berarti dapat diabaikan begitu saja. 
          Dalam hal ini ombudsman memiliki mekanisme pelaporan kepada DPR. Untuk kasus- kasus tertentu yang signifikan dan krusial, melalui mekanisme yang tersedia, DPR juga dapat memanggil pejabat publik (eksekutif) atas tindakan pengabaiannya terhadap eksistensi dan rekomendasi ombudsman. Dilihat dari aspck substansi materi yang dijadikan laporan olech masyarakat kepada KON yang diklasikfikasikan ke dalam: 1) pemalsuan/ persekongkolan, 2) intervensi, 3) penanganan berlarut/tidak menangani, 4) inkompetensi, 5) penyalahgunaan wewenang/berlebihan, 6) nyata-nyata berpihak, 7) imbalan (uang, hadiah, fasilitas, dll) praktek KKN, 8) penyimpangan prosedural, 9) penggelapan barang bukti/penguasaan tanpa hak, 10) berindak tidak layak, 11) melalaikan kewajiban, 12) lain-lain, baik selama tahun 2000 maupun 2001 urnumnya berkaitan dengan penanganan yang berlarut-larut, penyalahgunaan wewenang, praktik KKN dan penyimpangan prosedural cukup menonjol. 

1.4. Ombudsman di Swedia
          Jenis ombudsman yang dibentuk di Swedia tidak hanya terbatas pada The Parliamentaray Ombudsman yang berkedudmkan di bawah parlemen seperti awal pendiriannya di Swedia. Lembaga ombudsman dikembangkan di bidang lain, sehingga pada tahun 1969 dibentuk Press Ombudsman. Berturut-turut lahir ombudsman untuk kesamaan hak tahun 1981, tahun 1986 untuk diskriminasi etnism dan tahun 1994 untuk pembelaan anak-anak.
           Badan Perlementer Ombudsman memiliki hak untuk mengajukan prosedur disipliner terhadap para pegawai yang melakukan tindak pidaha ringan. Seringkali hasil kehuaran tersebut berupa krisasi ulasan laporan dati ombudsman atau suatu bentuk rekomendasi. Suatu opini dari ombudstman tersebut tidak permah secara hukum mengikat. Sehingka suatu Kantor Badan Parlementer Ombudsman secara politik adalah netral. 
          Tetapi bagaimanapun juga lembagai ini tidak mempunya yurisdiksi terhadap segala tindakan para anggota parlemen Swedia, pemerintah atau anggota kabinet, menteri Hukum atau anggota Dewan Perwakilan Daerah. Ataupun juga kepada koran, radio atau pertelevisian, perserikatan dagang, bank-bank, perusahaan asuransi, dokter dengan ijin praktek di rumah, dan pengacara bukanlab menjadi urusan lembaga ombudsman. Namunt erdapat juga lembaga pengawas lainnya yakni Swedish Presss Council (pressens opinionsnambd), the Financial Supervisory Authority (Finansinspektionen), the National Board of Health dna Welfare (Socialstyrelsen) dan the Swedish Bar Association (Svenska advokatsamfundet). 
          Ombudsman terdiri dari orang-orang yang dipilih oleh Riksdag untuk mengawasi jalannya petnerintahan atau birokrasi yang emlayani pelayanan publik atau kepentingan publik agar sesuai dengan kewajiban mereka (para pejabat publik) dan hukum yang berlaku. Seorang anggota ombudsman dipilih untuk periode empat tahun dan dapat dipilih kembali. Walaupun demikian, belum ada syarat formal untuk menjadi anggota ombudsman, namun yang terpenting dari semuanya adalah bahwa seseorang hatus sudah pernah mengikuti pelatihan hukum. 
          Setiap anggota ombudsman mempunyai area tanggung jawab masing- masing (arca pengawasan). Salah satu anggota ombusaman menjabat sebagai Ketua Parlement Ombudsman dan bertanggungjawab untuk administrasi, memutuskan, sebagai contoh area tanggung jawab apa saja yang akan dialokasikan kepada tiap anggota ombudsman lainnya. Namun ia tidak dapat menintervensi investigasi atau ajudikasi (adjudication) anggota ombudstnan lainnya di luar lingkup tanggung jawabnya. Setiap anggota ombudsman bertanggungjawab secara langsung kepada Riksdag atas setiap pengawasannya.
           Laporan tahunan yang mana menjadi salah satu lapotan resmi yang dikeluarkan olch Swedish Riksdag, discrahkan kepada the Konstitutionsutskottet (Standing Committee on the Constitution), yang kemudian membuat laporannya tetsendiri dan discrahkan kepada Riksdag Keluhan kepada JO (Justitieombudsmannen) atau Parlemen Ömbudsman (Rikdsdagens ombudsman) yang menjadi nama resmi lembaga tersebut dapat dilaporkan jika seseorang atau suatu lembaga mendapatkan perlakuan tidak adil atau maladministrasi dai pejabat publik dalam suatu dinas atau departemen atau pemerintah daerah. Dengan kata lain seseorang yang dapat mengajukan keluhan adalah sescorang yagn telah dianggap sudah dewasa atau boleh juga bukan penduduk Śwedia. 
           Penyelidikan (supervisi) ombudsman didasarkan pada adanya keluhan dari publik secara umum, masing-masing kasus diptakarsai oleh ombudsman sendiri dan observasi mereka lakukan pada saat pemeriksaan berjalan. Setiap tahunnya Badan Parlementer Ombudsman menerima hampir 500 keluhan dalam berbagai macam bentuk. Karena sebagian besar kerja dari ombudsman sendiri adalah mengurusi banyaknya keluhan tersebut. Salah satu jalan lain yang ekstrim dalam suatu tindakan ombudsman adalah ombudsman bisa berlaku seperti jaksa dan memberikan tuntutan kepada pegawai yang diduga melakukan pelanggaran karena jabatannya atau karena ada ketidakbereşan lainnya. Hal ini jarang sekali terjadi, tetapi dengan adanya eksadara belaka dari adanya kemungkinan ini berarti suatu kesepakatan yang besar untuk otoritas ombudsman. 

1.5. Perbandingan Ombudsman di Indonesia dengan Swedia
          Di negara-negara yang menganut sistem parlenmenter dan memilih bentuk Parliamentary Ombudsman, efektifitas ombudsman juga sangat ditentukan dengan sistem check and balance yang berlaku antara legislatif dan eksekutif. Dalam sistem parlementer, menteri bertanggung jawab kepada parlemen bukan kepada presiden. Sehingga parlemen dapat sewaktu-waktu meminta pertanggungjawaban menteri. Dengan demikian menteri-menteri tersebut sangat menghormati dan mematuhi rekomendasi ombudstman yang notabene bettindah sebagai perpanjangan tungan parlemen dalan nengawari proscs-proses pemberian pelayanan umum penyelenggara negara. 
          Bagaimana dengan ombudsman di negara yang menganut sistem presidentsial seperti Indonesia, tentu saja ombudsman di Indonesia tetap memiliki peluang yang sama untuk memperoleh kepatuhan dan dihortmati penyelenggara negara. Lebih-lebih apabila DPR dan MPR setelah memperkuat landasan yuridis dengan mengesahkan UU ombudsman Republik Indonesia dan landasan konstitusional dengan mengesahkan pengaturan ombudsman dalam amandemen UUD 1945 sebagaimana telah diajukan Komisi Konstitusi. 
          Melihat ke Swedia, eksistensi ombudsman sangat diakui. Di sana, datam menindaklanjuti laporan/kcluhan dari masyarakat, produk akhirnya hukan saja moral binding, tapi juga legal binding. Ombudsman malah berperan sebagai penuntut umum jika masaah tersebut tidak dapat diselesaikan hanya dengan pemberian saran/naschat kepada instansi publik yang bersangkuta. Instansi publik terschut harus merespon rekomendasi dari ombudsmaa. Rekomendasi antara lain diartikan sebagai saran, namun kadang kala dapat juga berarti nasehat. 
          Dalam kaitan dengan tugas dan wewenang ombudsman maka tekomendasi ombudsman adalah lebih dari sekedar saran atau nasehat biasa kepada pejabat pemrintah atau penyelenggara ncgara teatang apa yang harus dilakukan guna memperbaiki pelayanan yang dikeluhkan masyarakat, baik itu yang sifatnya kasus per kasus maupun yang bersifat sistemik. Dalam praktiknya di Indonesta, dengan rekomendasi ombudsman diharapkan instansi yang dikehuhkan dapat menyelesaikan masalah yang elikehuhkan pelapor, memperbaikai kualitas layanan publiknya (telf correction), diikuti pemberian sangsi adminstratif oleh atasannya kepada pejabat publik. yang terbukti melakukan penyimpangan, mencegah kemungkinan terjadinya mal administrasi dalam proses pelayanan umum dan setidak-tidaknya memberikan klarifikasi kebenaran keluhan yang disampaikan masyatakat. Bicara soal rekomendasi ombudsman sebagai produk final, banyak orang pesimis. 
          Bagaimana mungkin sebuah lembaga yang berhubungan dengan tuntutan tanggung jawab aparat kekuasaan bisa bekerja hanya dengan rekomendasi yang secara hukum tidak mengikat (ot legaly binding). Pesimisme ini wajar, jika orang selalu mengandalkan kekuatan hukum yang diwujudkan dalam sangsi yang menakutkan untuk memaksanak orang lain. Pada sisi lain, kenyataan di masyarakat, dengan ancaman angsi yang bisa dipaksakan pun banyak orang tidak ambil pusing. Putusan pengadilan yang sudah sah pun masih sulit untuk dijalankan. 
          Dimanapun di seluruh dunia, Ombudsman bekerja bukan dengan ancaman sangsi yang menakutkan (magistrature of sanction), melainkan dengan persuasi atau sentuhan tanggung jawab yang menyadarkan (magistrature of persuasion). Maknananya bahwa ombudsman lebih memperlakukan apatat negara atau pejabat publik lebih sebagai pribadi-oribadi yang berhati nurani dan berakal budi, ketitmbang sebagai sosok yang hanya berkapasitas fisikal jasmani. Oleh karena iut, pendekatan yang ingin dikembangkan oleh ombudsman adalah menyentuh kesadaran motal dan tanggung jawab moral. Melayani masyarakat secara baik dan adil, bukan sekedar suatu kewajiban leal, tetapi sekaligus kewajiban moral. Kewajiban legal adalah kewajiban yagn dipaksakan dari luar, dengan ancaman dan sangsi hukum. Kewajiban moral adalah kewajiban yang dituntut dari dalam, dari diri sendiri. 
          Ombudsman di Indonesia tidak berwenang mengeluarkan keputusan yang mengikat secara hukum (legally binding) layaknya pengadilan. Produk akhir dari ombudsman adalah rekomendasi yang mengikat secata motal (morally binding), yaitu berupa saran kepada pejabat publik untuk memperbaiki pelayanan umum yang dikeluhkan masyatakat. Ada beberapa hal ombudsman memiliki keunggulan tersendiri bila dibandingkan dengan pengadilan. Sifat rekomendasi ombudsman yang morally binding oleh sebagian orang dipandang sebagai kelemahan, sebenarnya adalah satu keunggulan tersendiri. Siştem kerjanya yang efisien adalah keunggulan lainnya ke ombudsman tidak perlu melalui jalur birokrasi yang rumit, tidak dipungut biaya dan lebih user friendty. Olch karena itu, tren yang berkembang di negara maju saat ini ombudsman sebagai alternatif untuk menyelesaikan perselisihan antara masyarakat dengan pemerintah dalam sengketa pelayanan umum.

1.6. Kesimpulan
          Konsep prakti Ombudsman di Swedia belum bisa diterapkan di Indonesia seperti yang dijelaskan di atas, Ombudsman di Indonesia tidak berwenang mengeluarkan keputusan mengikat secara hukum (legally binding) layaknya pengadilan. Produk akhir dari Ombudsman adalah rekomendasi yang mengikat secara moral (morally binding), berupa saran kepada pejabat publik untuk memperbaiki pelayanan umum yang dikeluhkan masyarakat. Adapun dalam hal membandingkan Ombudsman yang ada di Indonesia dan Swedia terdapat banyak faktor yang membuat Indonesia belum bisa menerapkan ombudsman sebaik Swedia. 
          Dilihat dari ckologi administrasi ada beberapa faktor yaitu: 
Ombudsmnan di Swedia lebih sederhana dan efisien hanya ada satu ombudsman yang mengutus beberapa bidang permasalahan. Scdangkan di Indonesia ada beberapa Ombudsman di tiap daerah. Ini karena faktor sosial dan geografis wiłayah Indonesia yang menyebar dan penduduknya sangat banyak dan bervariasi dibandingkan Swedia yang penduduknya hanya sepertiga puluh penduduk Indonesia. 
Faktor politik dilihat dari sejarah Ombudsman di Swedia dan Indonesia. Sejarahnya Ombudsman di Swedia disebabkan adanya kehendak baik dari pemimpin agar masyarakat dapat mengawasi kekuasaan yang diberikan oleh rakyat. Sedangkan di Indonesia berdirinya ombudsman diawali oleh buruknya kinerja pemerintah dałam memberikan pelayanan, oleh karena itu Ombudsmnan berdiri. 
Bila dilihat dari beberapa kasus di Indonesia, eksistensi Ombudsman kurang diakui. Ini terlihat ketika Ombudsman scringkali diabaikan saat mengadakan mediasi dan sekaligus memberikan rekomendasi kepada suatu badan/instansi publik. Sedangkan di Swedia eksistensi Ombudsman sangat diakui dan instansi publiknyapun sangat disegani. Terlihat dari budaya yang terdapat di Indonesia khususnya pejabat publik masih suiit untuk dapat melakukan instrospeksi dan perbaikan pemberian pelayanan publik yang merupakan kewajiban mereka. 
Ombudsman di Indonesia dasar hukumnya belum kuat dibandingkan di Swdia. Dasar hukum Ombudsman di Indonesia masih berupa Keppres, sedangkan di Swedia sudah terdapat undang-undangnya. 

1.7. Saran
          Untuk itu diharapkan penyelenggara pelayanan publik dapat menanggapi dengan scrius setiap rekomendasi yang diajukan oleh Komisi Ombudsman Nasional. Tidak hanya sekadar mendengar tetapi perlu instrospeksi dan membuat perbaikan. 

DAFTAR PUSTAKA
Anggara, S. 2012. Perbandingan Administrasi Negara. Bandung: CV. PUSTAKA SETIA. 

Hidayati, N dkk. 2008. PERBANDINGAN ADMINISTRASI PUBLIK ANTARA SWEDIA DAN INDONESIA. Jurnal Administrasi Publik. Vol. 5 No. 2. 

Idris, M. 2015. OMBUDSMAN DAN AKUNTABILITAS PUBLIK Perspektif Daerah Istimewa Yogyakarta. Makassar: De La Macca. 

Pope, Jeremy. 2003. Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional. Jakarta: Yayasan Obor dan Transparency International Indonesia.

Rahayu, S. 2018. PERBANDINGAN ADMINISTRASI NEGARA ANTARA SWEDIA DAN INDONESIA. Tidak diterbitkan: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KULIAH PERDANA KOMUNIKASI ADMINISTRASI

INOVASI DIGITAL MANAJEMEN SISTEM INFORMASI PADA LAYANAN PUBLIK DI LINGKUNGAN PEMKAB SLEMAN