ANALISIS PATOLOGI BIROKRASI PADA KASUS PUNGUTAN LIAR ASN DI LINGKUNGAN PEMKAB LUMAJANG

 1.1     Patologi Birokrasi

          Birokrasi merupakan sebuah aspek penting pada suksesnya penyelenggaraan sistem pemerintahan negara. Dimana sebuah birokrasi bertanggung jawab untuk menjalankan pelayanan publik yang berkualitas kepada masyarakat umum, pelayanan publik yang prima dan berkualitas memiliki artian bahwa semuanya harus dilakukan secara efektif dan efisien. Sebuah pelayanan publik dapat berjalan dengan baik ketika birokrasi memiliki andil yang tepat dan kredibel. Sementara itu, konsep produktivitas dalam birokrasi sektor publik menurut Balk dalam (Kasim, 1989) memaparkan bahwa didasarkan pada asumsi-asumsi normatif yang menyatakan bahwa organisasi publik tidak sepenuhnya otonom, tetapi dikuasai oleh faktor-faktor eksterior. Organisasi publik secara hukum diadakan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dan tidak dimaksudkan untuk bersaing dengan organisasi publik lainnya. Kesehatan organisasi publik diukur berdasarkan konstribusinya terhadap tujuan politik dan kemampuannnya mencapai hasil yang maksimal dengan sumber daya yang tersedia. Produktivitas organisasi dalam sektor publik diukur dari segi kualitas hasil pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, terutama sejauh mana hasil tersebut dapat dicapai dengan standar yang diinginkan.

          Produktivitas pelayanan publik tidak terlepas dari terwujudnya pelayanan yang profesional, kecepatan dan keuletan para birokrat dalam memberikan pelayanan menjadi tolok ukur keberhasilan sebuah birokrasi. Sedangkan birokrasi sendiri memiliki artian yang diadopsi secara langsung dari bahasa Inggris, dari kata bureaucracy. Secara etimologis, kata bureaucracy berasal dari akar kata bureau yang berarti meja tulis, yaitu tempat pejabat biasanya bekerja, ditambah kata cracy, yang bermakna aturan. Tidak heran bila dalam kamus bahasa Eropa abad ke-18 dan ke-19, istilah birokrasi diartikan sebagai kekuasaan, pengaruh, atau wewenang yang dimiliki oleh para pejabat pemerintahan (Albrow, 1996). Secara mudahnya agar dapat memahami arti dari birokrasi, ialah sebuah sistem dalam pemerintahan yang memiliki struktur tingkatan masing-masing yang bertugas untuk memberikan sebuah pelayanan publik agar tercapai suksesinya penyelenggaraan pemerintahan. 

          Pendapat Weber tentang “birokrasi rasional” berusaha memisahkan antara kantor dan pemegang jabatan, kondisi yang tepat untuk pengangkatan dan kenaikan pangkat, hubungan otoritas yang disusun secara sistematik antara kedudukan, hak dan kewajiban yang diatur dengan tegas dan lain-lain (Lance Castles, 1986). Weber memandang birokrasi rasional sebagai unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern, yang baginya jauh lebih penting dari seluruh proses sosial. Proses ini mencakup ketepatan dan kejelasan yang dikembangkan dalam prinsip-prinsip memimpin organisasi sosial, sehingga memudahkan dan mendorong konseptualisasi ilmu sosial (Ngadisah, 2015). Birokrasi di Indonesia pada umumnya dipandang buruk oleh masyarakat, bukan karena fasilitas yang diberikan oleh pemerintah kurang baik, namun karena adanya pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh birokrat sangat kurang memuaskan. Hal tersebut banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari ketika berhubungan dengan birokrasi, baik itu dalam pengurusan KTP, KK, BPJS atau urusan administrasi lain yang berhubungan langsuung dengan birokrasi. Lambatnya dalam memproses dan berbelit-belitnya birokrasi membuat sebagian masyarakat akhirnya malas untuk mengurus sendiri kepentingan administratif mereka, bahkan masyarakat mulai menggunakan jasa calo agar urusan-urusan yang berhubungan dengan birokrasi cepat selesai dan mereka cepat mendapatkan berkas atau kepentingan administrasi lain yang akan digunakannya. 

          Kejadian-kejadian tersebut terjadi di dalam tubuh birokrasi tak lain karena adanya penyakit-penyakit dalam birokrasi. Patologi Birokrasi pada mulanya, istilah “patologi” hanya dikenal dalam ilmu kedokteran sebagai ilmu tentang penyakit. Namun analogi tersebut juga dikenal dalam birokrasi, dengan makna agar birokrasi pemerintahan mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul, baik yang bersifat politis, ekonomi, sosio kultural dan teknologi. Berbagai penyakit yang mungkin sudah dideritanya atau mengancam akan menyerangnya perlu di identifikasi untuk kemudian dicarikan terapi pengobatan yang paling efektif. Harus diakui bahwa tidak ada birokrasi yang sama sekali bebas dari patologi birokrasi. Sebaliknya tidak ada birokrasi yang menderita penyakit birokrasi sekaligus (Teruna, 2007).

          Pada patologi birokrasi, terdapat dua buah ruang lingkupnya. Menurut Smith dalam (Ismail, 2009) terdapat dua konsep besar patologi birokrasi di dalamnya, yaitu Disfunctions of bureaucracy, yakni berkaitan dengan struktur, aturan, dan prosedur atau berkaitan dengan karakteristik birokrasi atau birokrasi secara kelembagaan yang jelek, sehingga tidak mampu mewujudkan kinerja yang baik atau erat kaitannya dengan kualitas birokrasi secara institusi. Yang Kedua ialah Mal-administration, yakni berkaitan dengan ketidakmampuan atau perilaku yang dapat disuap. Meliputi perilaku korupsi, tidak sensitif, arogan, misinformasi, tidak peduli dan bias, atau erat kaitannya dengan kualitas sumber daya manusianya atau birokrat yang ada di dalam birokrasi. 

          Selanjutnya (Siagian, 1994) mengelompokkan patologi birokrasi ke dalam lima kategori, Pertama yaitu Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi. Seperti penyalahgunaan wewenang dan jabatan, persepsi atas dasar prasangka, mengaburkan masalah, menerima sogok, pertentangan kepentingan, cenderung mempertahankan status quo, empirebuilding, bermewah-mewah, pilih kasih, takut pada perubahan, inovasi dan resiko, penipuan, sikap sombong, ketidakpedulian pada kritik dan saran, tidak mau bertindak, takut mengambil keputusan, sifat menyalahkan orang lain, tidak adil, intimidasi, kurang komitmen, kurang koordinasi, kurang kreativitas, kredibilitas trendah, kurangnya visi yang imajinatif, kedengkian, nepotisme, tindakan tidak rasional, bertindak diluar wewenang, paranoid, patronase, keengganan mendelegasikan, ritualisme, keengganan pikul tanggung jawab dan xenophobia. 

          Sedangkan yang kedua ialah patologi yang disebabkan karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional. Seperti ketidakmampuan menjabarkan kebijaksanaan pimpinan, ketidaktelitian, rasa puas diri, bertindak tanpa berpikir, kebingungan, tindakan yang tidak produktif, tidak adanya kemampuan berkembang, mutu hasil pekerjaan yang rendah, kedangkalan, ketidakmampuan belajar, ketidaktepatan tindakan, inkompetensi, ketidakcekatan, ketidakteraturan, melakukan tindakan yang tidak relevan, sikap ragu-ragu, kurangnya imajinasi, kurangnya prakarsa, kemampuan rendah, bekerja tidak produktif, ketidakrapian, dan stagnasi. 

          Sebab munculnya patologi ketiga ialah patologi yang timbul karena tindakan para anggota birokrasi yang melanggar norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seperti penggemukan biaya, menerima suap, ketidakjujuran, korupsi, tindakan kriminal, penipuan, kleptokrasi, kontrak fiktif, sabotase, tata buku tidak benar, dan pencurian. Sebab Keempat yaitu patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat disfungsional atau negatif. Seperti bertindak sewenang-wenang, pura-pura sibuk, paksaan, konspirasi, sikap takut, penurunan mutu, tidak sopan, diskriminasi, dramatisasi, sulit dijangkau, sikap tidak acuh, tidak disiplin, kaku, tidak berperikemanusiaan, tidak peka, tidak sopan, tidak peduli tindak, salah tindak, semangat yang salah tempat, negativisme, melalaikan tugas, tanggungjawab rendah, lesu darah, paparazi, melaksanakan kegiatan yang tidak relevan, utamakan kepentingan sendiri, suboptimal, imperatif wilayah kekuasaan, tidak profesional, sikap tidak wajar, melampaui wewenang, vested interest, dan pemborosan.

          Sebab timbulnya patologi yang terakhir ialah patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi dalam lingkungan pemerintahan, seperti penempatan tujuan dan sasaran yang tidak tepat, kewajiban sosial sebagai beban, eksploitasi, tidak tanggap, pengangguran terselubung, motivasi yang tidak tepat, imbalan yang tidak memadai, kondisi kerja yang kurang memadai, pekerjaan tidak kompatibel, tidak adanya indikator kinerja, miskomunikasi, misinformasi, beban kerja yang terlalu berat, terlalu banyak pegawai, sistem pilih kasih, sasaran yang tidak jelas,  kondisi kerja yang tidak nyaman, sarana dan prasarana yang tidak tepat,  dan perubahan sikap yang mendadak.

1.2.     Kasus Pungli ASN Pemkab Lumajang dalam Analisis Patologi Birokrasi

          Pungutan Liar (Pungli) merupakan sebuah tindakan yang tercela lagi amat merugikan banyak pihak. Disisi lain, pungli merupakan sebuah praktek rasuah yang dilakukan oleh pegawai yang berkepentingan dengannya. Hal tersebut terjadi pada lingkungan instansi pemerintahan seperti di Kabupaten Lumajang, dilansir pada laman WartaBromo, bahwa diberitakan sebelumnya, sebanyak 9 pegawai di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lumajang dikenai sanksi dibebaskan dari tugas. Pegawai yang dicopot dan dimutasi oleh Pemkab berasal dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan Dinas Pendidikan (WartaBromo: 2018). Bentuk dari pungutan liar tersebut ialah pungutan liar untuk mempercepat proses pengurusan berkas kenaikan pangkat pegawai. Staf BKD memberikan penawaran kepada ASN yang ingin mempercepat proses administrasi kenaikan pangkat dengan membayar nominal sebesar Rp 500.000 per orang. Sementara oknum di Dinas Pendidikan bertugas untuk mempercepat administrasi pada bagian pengurusan ijazah. Tidak tanggung-tanggung, ada sekira 300-an pegawai yang tergiur dengan tawaran tersebut. Oknum pun mengantongi sebesar Rp 150.000.000 pada kasus pungli ini (WartaBromo, 2018).

          Kasus pungli yang terjadi di Lingkungan Pemkab Lumajang tersebut memunculkan kegeraman Bupati Lumajang. Beliau dengan sangat lantang mengecam adanya pungutan liar yang dilakukan oleh ASN pemkab tersebut. Hal tersebut menurutnya ialah melanggar aturan perundang-undangan dan telah melanggar sumpah jabatannya. Dampak dari adanya kasus pungli tersebut, Bupati Lumajang akan mencopot ASN yang terlibat secara langsung sebagai bentuk sanksi atas perbuatan yang telah mereka lakukan. 

          Dalam tubuh birokrasi ini, sangatlah besar tingkat kerentanannya terhadap penyakit-penyakit birokrasi. Tingkat transparansi dan akuntabilitas dari para Aparat Sipil yang bekerja bisa sangat mudah untuk diserang dari dalam tubuh instansi mereka sendiri. Banyak faktor yang telah melatar belakangi sebuah patologi birokrasi tersebut timbul. Telah disinggung sebelumnya bahwasanya terdapat lima kategori patologi yang disebutkan oleh Siagian, salah satunya ialah timbul karena persepsi dan gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi. Jika dilihat dan diamati terjadinya kasus pungli di lingkungan Pemkab Lumajang tersebut, dapat diketahui bahwasanya terdapat kesempatan yang lebar untuk dimanfaatkan oknum tidak bertanggung jawab pada situasi dan kondisi demikian. 

          Dimana hal tersebut menjadi sangat gamblang ketika birokrasi yang berjalan di lingkungan instansi sangat ribet dan lama, selain itu juga mental para birokrat  menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi timbulnya penyakit-penyakit dalam birokrasi. Sudah bukan rahasia publik lagi, bahwasanya banyak kasus-kasus yang terjadi disebabkan oleh tubuh birokrasi sendiri. Mulai dari ribetnya pelayanan, leletnya para birokrat bekerja dan juga mentalitas para birokrat yang memiliki budaya buruk dalam organisasi. Budaya pelayanan akan berjalan dengan baik apabila terbangun kerja tim didalam internal organisasi. Sebagaimana diketahui bahwa suksesnya sebuah organisasi bersumber dari kerjasama yang baik semua karyawan. Melalui kerjasama yang baik pekerjaan dalam memberikan pelayanan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan memberikan hasil terbaik bagi pengguna layanan. Fokus utama untuk memberikan kepuasan kepada masyarakat harus menjadi prinsip utama pelayan publik dalam bekerja (Ancok, 2014).

          Praktek-praktek pelanggaran terhadap undang-undang menjadi sebuah perbuatan yang harus di pertanggung jawabkan kepada hukum yang berlaku. Perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kerugian pada negara dan juga merugikan masyarakat merupakan salah satu bentuk dari pelanggaran terhadap hukum. Sebenarnya kasus-kasus yang mengenai ASN di Lingkungan Pemkab Lumajang tersebut sangat berhubungan erat dengan adanya patologi birokrasi yang telah mengakar kuat sejak lama. Dimana ketika di analisa, perilaku-perilaku patologi birokrasi  tersebut dibangun sendiri di dalam tubuh instansi. Dapat diasumsikan bahwasanya ketika Individu yang berkarakter unggul dan idealisme yang tinggi, ini merujuk pada birokrat-birokrat yang notabene mereka adalah mantan mahasiswa yang mana pernah atau bahkan di kampus memiliki idealisme dan berkarakter unggul. 

          Namun demikian, kualitas individu yang unggul dan idealis tersebut bisa saja musnah ketika mereka masuk kedalam lingkungan birokrasi. Jikalaupun dapat bertahan dengan idealisme dan karakter yang unggul pada dirinya misalnya, tidak akan bertahan lama perlahan-lahan akan mengikuti alirnya arus di dalamnya. Karena patologi birokrasi ini memiliki serangan penyakit yang sedemikian kompleks.

          Pada Kasus Kepala Badan Kepegawaian Daerah dan Dinas Pendidikan Kabupaten Lumajang, Staf BKD menawarkan kepada para ASN yang ingin mempercepat proses administrasi kenaikan pangkat, harus memberikan uang kepada pihak mereka sebesar Rp.500.000 per orang. Lalu pada oknum di Dinas Pendidikan memiliki tugas untuk mempercepat selesainya administrasi bagian ijazah. Dari adanya penawaran pihak dari dalam tersebut, terdapat sekitar 300 sekian pegawai yang berminat pada tawaran tersebut. Oknum pun memperoleh uang pungli sebesar Rp.150.000.000 yang dikumpulkan dari para pegawai ini.

          Dari kasus tersebut dapat di analisa bahwasanya tindakan-tindakan pungli atau segala macam jenisnya yang masuk dalam kategori penyakit birokrasi, dapat terbentuk dari dalam instansi itu sendiri. Bagaimana tidak, mereka menginginkan waktu dan hasil yang cepat agar proses penyelesaian berkas pengangkatan jabatan mereka segera terlaksana. Namun disisi lain, mereka terkadang dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sangatlah lemot dan dibelit-belit. Ini merupakan sebuah fenomena patologi birokrasi yang secara gamblang ditunjukkan kepada masyarakat melalui sikap mereka sendiri. 

          Dalam birokrasi, atau sebelum mereka masuk kedalam birokrasi saja bahkan terdapat banyak godaan yang timbul mengenai kebiasaan-kebiasaan pada sistemnya. Salah seorang birokrat yang memiliki idealisme dan komitmen tinggi dapat saja terjangkiti penyakit birokrasi. Birokrat semacam ini memiliki tiga pilihan yang ada ditangannya, yaitu menjadi bagian dari sistem yang sakit, dianggap sebagai pesakitan karena tidak menjadi bagian sistem, atau bahkan pada tindakan keluarnya dari sistem birokrasi yang seperti gurita.

          Kejadian patologi birokrasi di dalam tubuh instansi di lingkungan Pemkab Lumajang tersebut membuka mata masyarakat akan boboroknya sistem birokrasi di Indonesia. Dalam hal tersebut, selain terjadi pada sistem, penyakit birokrasi juga timbul karena aparaturnya. Contoh konkrit lain dari masalah pungli di lingkungan Pemkab Lumajang ialah pada kasus yang pernah membuat publik 10 tahun lalu  gempar, yang mana tentang bagaimana Gayus Tambunan sebagai Pegawai Negeri Sipil Golongan III A di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan melakukan tindak kejahatan yang fatal terhadap korupsi dana pajak. Bukan karena prestasinya di birokrasi meningkatkan penerimaan pajak, melainkan justru karena perbuatannya telah memperkokoh keyakinan tentang buruknya birokrasi di Indonesia. Tidak semua birokrat memiliki kesalahan seperti Gayus Tambunan, akan tetapi kelemahan sistem organisasi seperti dituliskan oleh Caiden, seorang pakar ternama reformasi administrasi, bahwa gejala tersebut mengidentifikasikan telah terbentuk citra menyeluruh mengenai buruknya birokrasi di Indonesia (Eko Prasojo, 2010).

          Tatanan birokrasi Indonesia sudah sejak lama menjadi keluhan publik. Perlu adanya sebuah reformasi birokrasi dalam pemerintahan untuk mencapai terwujudnya Good Governance. Konsep Good Governance diartikan sebagai kepemerintahan yang baik. Secara konseptual pengertian “baik” mengandung dua pemahaman. Pertama, nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan nasional, kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua, aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut (Sjamsuddin, 2007). Dalam konsep tersebut perlu adanya kontribusi besar dari berbagai elemen, tidak terkecuali juga pada birokrasi. 

          Birokrasi pemerintahan yang bersih dan berintegritas memerlukan usaha yang ekstra pula. Karena dapat diketahui bahwasanya budaya birokrasi Indonesia yang sudah terlanjur buruk dan banyak terdapat penyakit-penyakit birokrasi harus segera diminimalisir dan dihilangkan. Tentu semuanya itu tidak mudah dan memerlukan waktu untuk berproses mewujudkan semuanya. Citra buruk atau negatif tersebut semakin diperparah dengan isu yang sering muncul ke permukaan, yang berhubungan dengan kedudukan dan kewenangan pejabat publik, yakni korupsi dengan beranekaragam bentuknya, lambatnya pelayanan, dan di ikuti dengan prosedur yang berbelit-belit dan lain sebagainya. Sehinga keadaan tersebut merusak hubungan antara manusia, menghancurkan komunitas politik, dan meluluhlantakkan cita-cita negara hukum (Indrayana, 2008).

          Pemkab Lumajang juga telah membawa kasus ini ke ranah pengadilan, sehingga bagaimanapun pelanggaran terhadap sumpah jabatan dan perundang-undangan harus ditegakkan setegak-tegaknya. Pencopotan 7 ASN di Lingkungan BKD dan Dinas Pendidikan Kabupaten Lumajang merupakan wujud dari ketegasan untuk memutus mata rantai patologi birokrasi, meskipun patologi birokrasi merupakan sebuah hal yang sangat sulit untuk dihilangkan, minimal dari dalam diri di tanamkan rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan selalu menjaga integritas dan tanggung jawabnya sebagai birokrat pelayan masyarakat akan meminimalisir meluasnya patologi birokrasi.

1.3   Reformasi Birokrasi, Upaya membentuk Birokrasi Berintegritas

          Pada bidang Administrasi Publik, model Weberian masih diperlukan namun terdapat pula pihak yang kontra dengan model ini karena terhadap efek dua arah yakni meningkatkan efisiensi namun juga merugikan kinerja (Dwiyanto, 2011). Dalam model tersebut, birokrasi dianggap sebagai organisasi satu kesatuan dari atas hingga tingkatan bawah yang diatur berdasarkan kewenangannya. Namun, masalah lain yang muncul oleh karena model ini telah terkontaminasi dengan kepentingan politik sehingga menggeser tujuan awal yaitu pelayanan publik. Sehingga birokrasi berpotensi menjadi alat bagi penguasa. Reformasi birokrasi dalam perspektif Administrasi Publik adalah menjalankan reformasi administrasi yang diartikan sebagai sebuah proses untuk meningkatkan proses birokrasi itu sendiri dalam tujuannya meningkatkan pelayanan publik. Definisi ini juga termasuk di dalamnya perilaku birokrat (Haning, 2015). 

          Reformasi birokrasi merupakan wujud dari perubahan yang menyeluruh pda tatanan birokrasi menuju peningkatan kualitas. Reformasi birokrasi berusaha untuk mengembalikan kembali birokrasi yang bersih dan melayani. Sebelumnya karena akibat dari perilaku birokrat yang cenderung tidak mendukung pelayanan publik telah menyebabkan tujuan awal birokrat dalam memberikan layanan publik bergeser ke arah pragmatisme dan menurunkan integritas dan kualitasnya (Horhoruw et al., 2012). Idealnya penyelenggaraan layanan publik oleh aparat pemerintah pemberi layanan publik harus dilakukan tanpa adanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) (Girindrawardana, 2002). Reformasi dalam perpektif Administrasi Publik, lebih dikenal dengan istilah reformasi administrasi (administrative reform) yang diperkenalkan dan menekankan pentingnya transformasi nilai-nilai baru kedalam birokrasi, sehingga birokrasi pemerintah dapat berkinerja baik dalam penyelenggaraan pemerintahan nasional, maupun daerah dalam mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas, sebagai syarat terciptanya kepuasan pelanggan (customer satisfaction) atas semua jenis layanan yang diterima dari pejabat publik (Haning, 2018). 

          Tatanan birokrasi menuju keprofesionalitasan dan integritas harus segera diwujudkan untuk mengembalikan citra dan fungsi pelayan masyarakat kembali seperti semula. Patologi birokrasi di Indonesia, sepertinya sudah termasuk dalam kategori sangat buruk, karena telah merasuk ke semua tatanan dalam organisasi pemerintahan baik itu eksekutif, legislatif dan yudikatif, di tingkat pusat, mapun di tingkat daerah. Implikasinya adalah kepada kinerja birokrasi dalam pelayanan publik belum memberikan kepuasan (satisfaction) masyarakat. Hasil survey Lembaga Transfaransi Internasional tahun 2017 menempatkan Indonesia pada urutan ke 129 dari 188 negara yang disurvei. Dengan kondisi birokrasi yang demikian itu, maka perlu dilakukan reformasi yang bersifat holistik yang meliputi semua unsur organisasi publik seperti hukum, struktur, prosedur, kebijakan, dan budaya organisasi (Dwiyanto, 2011). 

          Melihat kenyataan demikian, sudah seharusnya dilakukan tindakan-tindakan yang bersifat preventif, tegas dan perlu kecepatan dalam memperbaiki birokrasi Indonesia. Reformasi birokrasi dirasa sangat perlu dan relevan untuk saat ini. Jika perbaikan-perbaikan pada sistem birokrasi dilakukan secara masif, maka kemungkinan besar akan memiliki kemajuan yang signifikan, baik itu dalam pelayanan yang cepat maupun pada keprofesionalitasan birokrat.

          Kasus-kasus yang terjadi pada tubuh birokrasi seperti pungli ASN Pemkab Lumajang atau pada kasus yang sangat melukai birokrasi seperti korupsi Gayus Tambunan, merupakan bukti bahwa birokrasi Indonesia sedang sakit yang sangat serius. Penyakit-penyakit yang telah menjangkit tersebut bisa jadi akan turun-temurun kepada generasi-generasi selanjutnya ketika sudah masuk pada sistem birokrasi. Pungutan liar dan korupsi merupakan bentuk patologi birokrasi yang umum terjadi pada birokrasi Indonesia, bagaimana tidak ketika masyarakat sendiri telah membentuk maupun ikut terlibat pada patologi birokrasi tersebut atau dalam hal ini pungli. 

          Penyakit birokrasi ini tidak serta merta muncul dengan sendirinya, namun terbangun karena adanya kepentingan beberapa pihak dan memiliki kesempatan pula untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar keprofesionalitasan birokrat. Ini terlihat ketika betapa banyaknya pegawai yang ikut serta terlibat dalam pungli percepatan mengurus administrasi kenaikan pangkat di lingkungan Pemkab Lumajang. Betapa tidak, ketika pegawai yang meminta untuk di percepat dan pegawai yang mengambil pungli sebagai imbalan percepatan berkas ini dua-duanya merupakan aparatur birokrasi yang mana keduanya memiliki tanggung jawab untuk melayani. Jika dalam tubuh birokrasi antara dua pihak birokrat ini dapat melakukan penyimpangan, bagaimana pula nantinya pada masyarakat luar sana. Inilah yang menjadi permasalahan yang sangat penting untuk diselesaikan. Dengan cara apa, Reformasi Birokrasi merupakan salah satu solusinya. 

          Di Indonesia, reformasi birokrasi yang dilakukan sejak tahun 1998 dengan lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan semata-mata untuk memperbaiki kinerja birokrasi pelayanan publik. Operasionalisasi perundang-undangan tersebut tertuang pada Permenpan & RB No. 11 tahun 2015 yang dikenal dengan istilah road map reformasi birokrasi tahun 2015-2019. Namun implementasi berbagai peraturan tersebut hingga saat ini belum berhasil memperbaiki kinerja dan kualitas pelayanan publik, masih banyak praktek KKN dalam pemberian pelayanan (Haning, 2018). 

          Pemerintah telah mengeluarkan peraturan menteri terkait dengan Reformasi Birokrasi pada tahun 2015. Hal tersebut dilakukan hanya untuk melakukan pembaharuan birokrasi ke arah yang baik dan berintegritas. Namun begitu, perlu adanya mentalitas para birokrat yang baik, jujur, bertanggung jawab dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Kuasa menjadi dasar keberhasilan sebuah reformasi birokrasi. 



DAFTAR PUSTAKA

Albrow, Martin. 1989. Birokrasi. alih bahasa M Rusli Karim dan Totok Daryanto. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Ancok, D. Hendrojuwono, W. dan Hartanto, F.D. 2014. Mengapa Kita Perlu Memberikan Pelayanan yang Baik. Makalah dipresentasikan dalam Focus Group Discussion Juni. Jakarta: LAN-RI.

Castles, L., Nurhadiantomo, & Suyatno. 1986. Birokrasi: Kepemimpinan dan Perubahan Sosial di Indonesia. Surakarta: Hapsara.

Dwiyanto, Agus, et al. 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.

Dwiyanto, Agus. 2011. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Girindrawardana, D. 2002. Public Services Reform in Indonesia. Jakarta: Ombudsman Indonesia.

Haning, M. Thahir. 2015. Reformasi Birokrasi: Desain Organisasi yang Mendukung Pelayanan Publik di Indonesia. Yogyakarta: Ilmu Giri

Haning, M. T. 2018. Reformasi Birokrasi di Indonesia: Tinjauan Dari Perspektif Administrasi Publik. JAKPP (Jurnal Analisis Kebijakan dan Pelayanan Publik), Volume 4 No 1, 25-37.

Horhoruw, M. et al. 2012. Transforming the Public Sector in Indonesia: Delivering Total Reformasi. World Bank Publication. (March), 1–14. (online). http://siteresources.worldbank.org/EXTGOVANTICORR/Resources/30358631289428746337/Transforming_Public_Sector_Indonesia.pdf

Indrayana, Denny. 2008. Negeri Para Mafioso (Hukum di sarang Koruptor). Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Ismail, H.M. 2009. Politisasi Birokrasi. Malang: Ash-Shiddiqy Press.

Kasim, Azhar. 1998. Reformasi Administrasi Negara sebagai Prasyarat Upaya Peningkatan Daya Saing Nasional, Pidato Pengukuhan Guru Besar FISIP Universitas Indonesia. Jakarta: FISIP UI.

Ngadisah, Prof. Dr. MA. 2015. Birokrasi Indonesia (Edisi 3). Tanggerang: Universitas Terbuka. 

Siagian, Sondang, P. 1994. Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi, dan Terapinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Sjamsuddin, Sjamsiar. 2007. “Good Governance” . Jurnal Ilmiah Adminitrasi publik Vol V, III Malang: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.

Teruna, Made. 2007. “Patologi Birokrasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah. Malang: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.

WartaBromo. 2018. Kasus Pungli Kenaikan Pangkat di Lumajang Akan Dilimpahkan ke Pengadilan. (Online). https://www.google.com/amp/s/m.kumparan.com /amp/wartabromo/kasus-pungli-kenaikan-pangkat-di-lumajang-akan-dilimp ahkan-ke-pengadilan-1544416580104539985. Diakses Pada 11 Januari 2021.




Komentar

  1. Sangat menarik dan bahasan yang berbobot, semangat terus berkarya..
    salam ilmiah

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERBANDINGAN ADMINISTRASI PUBLIK (OMBUDSMAN) ANTARA INDONESIA DAN SWEDIA

KULIAH PERDANA KOMUNIKASI ADMINISTRASI

INOVASI DIGITAL MANAJEMEN SISTEM INFORMASI PADA LAYANAN PUBLIK DI LINGKUNGAN PEMKAB SLEMAN